Selasa, 26 Juli 2016
Saat Kicaumania Akar Rumput Makin Tertindas
JAKARTA - Lomba burung berkicau saat ini makin marak, hadiah yang ditawarkan juga makin memukau, mulai dari puluhan juta hingga sebuah mobil. Bahkan, bagi sebagian penghobi, lomba burung berkicau menjadi ajang persaingan meraih gengsi.
Walau entah dari sisi mana yang dianggap membanggakan dengan membeli burung hingga menghabiskan miliaran rupiah, saling sikut untuk mendominasi sebuah perlombaan tingkat nasional, atau lomba burung berkicau adalah lomba yang cocok untuk sekedar memamerkan kekayaan? Entahlah. Tak heran bila hasil survey yang dilakukan WWF bahwa peredaran uang di dunia hobi burung berkicau ini mencapai Rp 7 triliun per tahun, nilai yang sangat fantastis.
Bila dilihat dengan logika, orang-orang ambisius ini masih pro dan kontra bila dianggap seorang penghobi burung berkicau. Pasalnya, mereka rela merogoh kocek sangat dalam untuk sebuah burung, namun sebagian besar bukan dirinya sendiri yang merawat burung tersebut. Kebanyakan orang-orang ini hanya membeli tiket, datang ke lomba burung dengan gaya perlentenya, sementara burungnya ditangani oleh seorang perawat khusus atau biasa disebut joki bila di arena lomba.
Dengan keberadaan orang-orang ambisius ini, sudah tentu menyenangkan bagi EO penyelenggara lomba. Selain tiket lombanya akan diborong meski harganya mahal, di event-nya akan tampil burung-burung mewah dengan harga selangit. Hal ini tentu saja menjadi hiburan tersendiri bagi penggemar burung berkicau yang menyaksikan.
Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan kicaumania sejati atau yang biasa dijuluki kicaumania akar rumput. Mereka rata-rata berasal dari kalangan ekonomi menengah bawah, mereka merawat burungnya sendiri dengan telaten mulai dari bahan hingga burung jadi. Untuk membeli tiket lomba yang makin mahal, tak jarang mereka harus berpikir panjang. Namun demi mengetahui hasil rawatannya, mereka akhirnya merelakan uangnya agar burungnya bisa bersaing dengan burung-burung milik orang-orang ambisius tersebut.
Terjadilah persaingan sengit burung-burung istimewah antara burung rawatan dengan hati melawan burung rawatan dengan uang, burung pinggiran melawan burung ningrat. Apakah burung-burung yang dijuluki pinggiran ini punya peluang menang melawan burung puluhan hingga ratusan juta? Sudah tentu ada peluang. Tapi seberapa besar peluang itu, ini yang membuat banyak orang tertawa geli, atau banyak yang menganggap mimpi.
Sebenarnya bila kita runut asal-usul burung ningrat tersebut, tidak sedikit yang berasal dari rawatan para kicaumania akar rumput. Lalu kenapa kemudian burung-burung milik akar rumput sulit bersaing dengan burung bos-bos besar bila sama-sama berasal dari bawah sebelumnya? Ini yang menjadi tanda tanya.
Ujungnya, jangan heran bila kita melihat kicaumania akar rumput yang paling sering teriak-teriak protes ke juri mempertanyakan kinerja penilaiannya. Akan menjadi lucu bila ada seorang bos teriak-teriak protes karena burungnya kalah. Kalaupun burung bos kalah, pasti hanya tersenyum kecut karena yang mengalahkan adalah burung bos besar lainnya. Namun bila burung bos kalah dengan burung akar rumput, maka pasukan lobinya akan dikerahkan untuk mendapatkan burung akar rumput tersebut.
Protes yang dilakukan kicaumania akar rumput makin lama makin lantang. Bila protes di lapangan tidak dihiraukan juri atau panitia, mereka pasti melanjutkannya di media sosial. Mungkin hanya sebatas itu yang bisa mereka lakukan, karena sampai detik ini, tidak satupun EO lomba burung berkicaua memberikan mekanisme yang tepat dalam menyampaikan protes dengan berlindung pada peraturan "Keputusan Juri Mutlak Tidak Bisa Diganggu Gugat".
"Keputusan Juri Mutlak Tidak Bisa Diganggu Gugat" ini sudah tentu merupakan sistem yang dibuat untuk mengambil langkah aman agar jalannya lomba terus berjalan dengan kondusif terlepas benar atau tidaknya adanya kecurangan dalam penilaian. Atau dengan kata lain, peserta dipaksa pasrah tidak boleh melakukan protes apapun yang terjadi.
Baru-baru ini, muncul kontroversial terkait kecurigaan adanya kecurangan dalam lomba burung berkicau skala nasinoal di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat yang menggunakan jasa juri BnR. Tidak hanya kicaumania akar rumput yang menyuarakan, bahkan seorang ketua organisasi burung berkicau terbesar (www.kicaumania.or.id) Ridho Pulungan juga melakukan hal yang sama. Bahkan dirinya dengan tekad yang bulat menyuarakan kampanye "Lawan Kecurangan dalam Lomba Burung Berkicau".
Apa yang disuarakan dengan lantang ketua organisasi ini bukan tanpa sebab. Di salah satu kelas yang dilombakan (Pleci) dirinya menyaksikan ada indikasi kecurangan yaitu sebuah stiker penanda khusus di salah satu sangkar peserta. Dan secara kebetulan atau tidak, burung dengan sangkar bertanda stiker tersebut menjadi pemenangnya.
Apakah stiker tersebut bisa dijadikan bukti ada kecurangan? Belum tentu. Karena dari pihak juri akhirnya meminta bukti otentik kalau benar ada juri yang telah menerima suap. Dengan pembelaan seperti itu, sudah tentu protes akan menjadi sia-sia karena untuk mendapatkan bukti selevel itu, dibutuhkan keahlian khusus seperti yang dimiliki kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dengan aset dan fasilitas khusus mampu melakukan operasi tangkap tangan. Bila dirunut, protes ini bukan tanpa sebab, karena sesuai peraturan yang dimiliki organisasi tersebut, tidak boleh ada stiker penanda khusus. Bila ada, tidak akan dinilai. Namun kenyataannya sangkar berstiker tanda tersebut menang juga.
Tidak hanya kelas Pleci, protes juga terjadi di kelas Murai Batu yang dilakukan salah satu anggota Rumah Murai Cirebo (RMC) yang di bawah naungan Rumah Murai Batu Indonesia (RMI). Dimana dirinya yakin burung gaconya telah dicurangi karena dengan kinerja yang bagus menurutnya, namun dibuang menjadi Juara 10. Sang pemilik mengaku sempat melakukan protes di lapangan, namun dirinya juga mengaku tanggapan dari pihak juri sangat mengecewakan.
Mungkin sama putus asanya protes di lapangan tidak didengarkan, anggota RMI ini mengklaim burungnya layak juara lebih baik lagi karena kinerjanya sempat menyodorkan bukti otentik berupa video yang diupload di media sosial Facebook. Dalam postingannya, dirinya mengungkapkan kekecewaannya kepada kinerja juri yang dianggapnya tidak fair.
Ironisnya, protes yang dilakukan kicaumania ini berujung pada sebuah ancaman tuntutan hukum dari pihak pendiri organisasi juri yang diprotes. Apabila dalam waktu 2x24 jam tidak dapat memberikan bukti otentik, maka pihaknya akan menuntut secara hukum individu kicaumania ini atau komunitas yang menaunginya.
Buntut ancaman tuntutan hukum tidak hanya terjadi di event ini saja. Kabarnya di daerah Yogyakarta beberapa kicaumania akar rumput sudah dituntut secara hukum oleh sesama peserta lomba yang terindikasi salah satu bos besar dalam "Kontroversi Pakem Kenari" karena dianggap melakukan pencemaran nama baik dengan tuduhan melakukan kecurangan.
Pertanyaannya, lalu bagaimana kicaumania akar rumput ini menyampaikan protes adanya kecurangan dalam penilaian? Karena selama ini belum ada mekanismenya yang tepat, apalagi juri-juri ini tidak memiliki semacam Dewan Kehormatan semacam lembaga-lembaga resmi lainnya. Lalu apakah ada jaminan bahwa semua lomba burung berkicau penilaiannya adil? Tentu tidak ada jaminan. Bila ada jaminan fairplay, lalu apa kira-kira penyebab adanya istilah "bersih-bersih" di dalam sebuah organisasi yang menaungi juri yang pernah terjadi? Sudah tentu karena adanya oknum-oknum nakalnya sehingga harus ada "bersih-bersih". Lalu apakah ada jaminannya tidak ada oknum-oknum nakal setelah "bersih-bersih"? Hmmm...
Saat ini, kicaumania akar rumput sudah di dalam kondisi yang hopeless atau putus asa dengan keadaan seperti ini. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan yang dinilainya sudah bobrok. Bahkan untuk melakukan boikot, kicaumania akar rumput pasti akan bimbang, karena ini adalah dunia hobi yang mereka cintai. Dan lucunya, kicaumania akar rumput ini kembali mengikuti lomba berikutnya, walau dengan juri yang sama meski sudah dikecewakan sedemikian rupa. Kenapa? Karena kicaumania akar rumput ini adalah kicaumania sejati.
Kamis, 21 Juli 2016
Politik Ekonomi Pasar Burung Berkicau
JAKARTA, KM - Bagi penangkar burung kenari, pasti pernah mengeluhkan harga kenari yang terjun bebas. Tapi mari kita coba tanyakan ke para penangkar kenari apa penyebab harga anjlok? Apakah karena kualitas kenari yang dihasilkan makin menurun? Apakah peminat burung kenari makin berkurang? Atau karena produksi yang dihasilkan para penangkar terlalu besar membanjiri pasar sehingga hukum ekonomi berlaku?
Tetapi yang paling tidak masuk logika adalah anjloknya harga kenari karena warna burung yang dihasilkan penangkar. Karena setahu saya (mohon dikoreksi bila salah) saat ini kontes kenari warna di Indonesia tidak ada.
![]() |
Foto: royalcanary.blogspot.com |
Lalu bagaimana dengan fenomena dibukanya kelas khusus kenari warna hijau karena disinyalir ada diskriminasi? Sudah tentu pasti ada pro dan kontra atau beda pendapat. Ini bukan hal baru atau sesuatu yang WOW, karena ini sama sekali tidak berbeda dengan polemik Murai Batu ekor putih/hitam, Kacer dada putih/hitam atau Ciblek gunung/non gunung.
Bila kita tanyakan kepada setiap EO atau juri apakah mereka benar membeda-bedakan burung yang notabene satu jenis saat berada di gantangan? Saya yakin 100% semua akan membantahnya.
Dan coba anda tanyakan kepada setiap juri apakah mereka tidak memantau burung karena warnanya karena tidak begitu terlihat? Saya juga yakin juri-juri itu akan menertawakan pertanyaan kita. Karena ini kontes basic on audio bukan basic on visual.
Tapi apabila benar juri kesulitan menilai burung kenari karena faktor warna, yang perlu dievaluasi kelayakan burung itu mengikuti kontes atau kelayakan juri tersebut untuk menjadi pengadil lomba burung?
Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa munculnya kelas-kelas khusus seperti MB ekor hitam, MB Borneo, Campuran Import, LB kelas baby, kenari besar dan kecil, bahkan kenari warna khusus dikarenakan politik ekonomi pasar perburungan.
Kenapa disebabkan politik ekonomi pasar perburungan? Dalam komoditas apapun hukum ekonomi pasar pasti berlaku. Komoditas yang makin sulit didapatkan harganya pasti melambung sedangkan komoditas yang mudah didapat dan jumlahnya besar harganya cenderung murah.
Contohnya MB, semua tahu harga MB ekor putih asli Sumatera harganya tinggi karena makin sulit didapat walau dihantui maraknya MB import, sedangkan MB ekor hitam atau MB Borneo cenderung lebih murah karena ketersediaan di pasar masih banyak.
Karena ketersediaan banyak dan harga cenderung murah, maka pedagang atau komunitasnya tentu tidak tinggal diam. Untuk menggenjot harga, mereka biasanya menjalin kerjasama dengan EO untuk mulai menerima keberdaan burung tertentu, entah itu dengan cara membuka kelas khusus atau dengan cara lainnya. Semua semata-mata agar burung tersebut makin digemari dan harga perlahan-lahan namun pasti akan beranjak naik. Dan tentu saja ini juga memicu orang lebih giat menangkarnya atau merambahnya dari hutan demi memenuhi kebutuhan pasar.
Politik ekonomi ini juga berlaku untuk dibukanya kelas LB baby atau kenari warna khusus atau kenari besar dan kecil. Khusus LB, semua penangkar LB akan mengakui harga produknya makin anjlok dewasa ini. Hal ini bisa jadi disebabkan gempuran import yang gila-gilaan atau karena semakin banyaknya penangkar sehingga supply jauh lebih besar dari demand.
Perlu diakui, strategi dibukanya kelas baby merupakan langkah strategis dalam menggenjot harga hasil tangkaran. Karena penangkar bisa menjual sedini mungkin produknya dengan harga standar lomba walaupun belum tentu LB baby tersebut bisa berprestasi saat dewasa.
Begitu juga dengan kenari, dimana penangkar yang tidak mengedepankan kualitas semakin membludak, ditambah banjirnya import yang makin memperparah keadaan harga. Tentu dengan dibukanya kelas-kelas khusus agar penangkar lebih memperhatikan kualitasnya demi memenuhi persaingan di lomba-lomba baik kelas kenari besar atau kecil.
Namun untuk kelas kenari warna khusus, ini yang masih menjadi tanda tanya. Apakah benar karena juri mengalami kesulitan memantau kenari warna tertentu saat bersandingan dengan kenari warna lain? Bila itu benar adanya, tidak bisa dibayangkan bagaimana stresnya para juri saat kenari warna khusus tersebut digantang bersama. Menilai satu, dua atau tiga burung saja kesulitan, apalagi menilai puluhan saat digantang bareng.
Bisa jadi benar adanya banyak penangkar kenari yang banyak menghasilkan warna khusus ini mengeluh karena harga memprihatinkan. Tapi bisa jadi pula dengan dibukanya kelas kenari khusus ini akan disusul import besar-besaran juga dengan warna yang diinginkan.
Namun bila dibukanya kelas kenari warna khusus ini disebabkan politik ekonomi pasar perburungan, semua menjadi masuk akal karena alasan yang sama seperti burung yang lain.
Tapi terlepas dari apapun alasannya, semua adalah sah-sah saja. Karena dunia hobi burung berkicau sudah semakin jelas mengarah ke industrialisasi dan kapitalisme. Dan bagi penghobi juga sah-sah saja mengikuti arus perubahan dunia hobi burung berkicau ini.
Salam KicauMania,
Giri KM
Langganan:
Postingan (Atom)